Oleh: Muhammad Alvin Adam
Agama menampilkan banyak wajah, yang asalnya satu bisa
berwujud dengan aktivitas beragam dalam menggiring kerukunan dan harmonitas
sosial jika pemeluknya mengerti agama dan menyadari eksistensinya sebagai
bagian dari masyarakat. Namun, agama dapat dipahami secara absolute sebagai
ajaran yang terlepas dari konteks sejarah yang berputar dalam lingkaran tafsir
antara bahasa dan pemikiran dipenggalan waktu tertentu akan menimbulkan
ketakutan dan keresahan yang mengancam kerukunan sosial. Sebenarnya inti dari
kepercayaan keagamaan itu secara substansial adalah keyakinan adanya Tuhan yang
transenden, sakral, suci atau segala apapun yang dihubungkan dengan suatu Dzat
Yang Maha Agung.
Inilah realitas umumnya yang terjadi dalam kehidupan
sosial keagamaan masyarakat Indonesia. Ambiguitas agama itu nampak diantaranya
dalam ritual-ritual keagamaan yang sudah mentradisi dalam kehidupan masyarakat.
Di zaman Postmodernisme, dengan memahami bahwa masyarakat Jawa memiliki
akulturasi sangat tinggi dalam nilai ke-Islaman. Terdapat budaya-budaya yang
berkembang di berbagai daerah bahwa menunjukkan Islam menyebar di Indonesia
melalui budayanya. Tradisi kebudayaan penduduk Jawa masih sangat melekat dengan
budaya adat istiadat masyarakat Kejawen atau tradisonal.
Hal ini yang massif terjadi dalam kehidupan sosial
keagamaan masyarakat adalah adanya ambiguitas dalam agama, terutama dalam
ritual-ritual keagamaan yang sudah menjadi tradisi dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Tradisi-tradisi ritual masyarakat Kejawen menyajikan simbolisme
tertentu yang memerlukan penjelasan lebih rinci untuk dapat dimengerti dengan
baik dan benar.
Van Reusen juga pernah mengatakan bahwa tradisi adalah
peninggalan, aturan, warisan, adat istiadat. Namun, perlu diingat bahwa tradisi
atau adat ini memiliki sifat mutlak yang artinya tidak bisa dirubah. Seperti
halnya tradisi di masyarakat Kejawen, yang tetap dilestrarikan tradisi
ritualnya secara turun-menurun dari zaman ke zaman, oleh karena itu sifat kudus
atau kesakralannya masih tetap ada sampai sekarang. Tradisi atau ritual
masyarakat Kejawen biasanya wujudnya sebagai sistem keyakinan dan gagasan
mengenai Tuhan, dewa-dewa. Jadi masyarakat Kejawen itu mempunyai ritual atau
tradisi dalam wujud bersifat permanen atau non permanen.
Dari sisi lain mereka meyakini dan mengakui adanya
suatu kebenaran yang simbolnya dari suatu ajaran Islam, namun terdapat sebagian
yang tetap meyakini suatu hal berkaitan dengan tradisi warisan nenek moyang mereka
yakni dari budaya pra-Islam, agama Hindu maupun agama Kejawen. dan itu tetap
ada dan terus ada.
Dalam
upacara-upacara adat istiadat atau tradisi Jawa
misalnya kita biasanya tidak lepas dari yang namanya sesajen. sesajen dalam pengertian umum adalah
sebuah makanan dan benda lainnya seperti
bunga, dupa, kopi, rokok, kelapa muda, dan lain-lain, yang dipersembahkan dalam
upacara keagamaan yang dilakukan secara simbolis dengan tujuan berkomunikasi
dengan kekuatan gaib. Kekuatan yang dimaksud bisa merupakan kekuatan yang
tertinggi yang telah memberi kehidupan dan menjadi pusat harapan atas berbagai
keinginan posistif masyarakat, dan dipercayai bisa menjauhkan dari hal-hal
negatif.
Adapun juga maksud dari sesajen adalah
suatu hidangan atau sajian yang memiliki nilai sakral dan historis di sebagian
masyarakat Jawa pada
umumnya. Sesajen biasanya untuk tujuan Ngalap
Berkah atau mencari berkah di tempat-tempat
tertentu yang dianggap sakral atau keramat bagi masyarakat Kejawen. Maksud dari sesajen tidak lain adalah
aktualisasi dari pikiran, keinginan, dan perasaan seseorang untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sesajen biasanya digunakan
untuk upacara-upacara peringatan atau hajatan yang memuat sajian dari perangkat khusus misalnya seperti,
tumpeng, buah-buahan, lauk pauk, jajanan pasar, sayur-sayuran, dan menu sajen
yang lain tergantung bentuk upacaranya.
Sesajen merupakan bagian dari tradisi dan adat
istiadat dari suku tertentu yang sudah dilakukan sejak bertahun-tahun, seperti
contoh masyarakat jawa dan masyarakat bali.
Sehingga sudah menjadi dari bagian kehidupan bagi
masyarakat tersebut.
Di dalam Teori Interaksionisme Simbolik yang dibawa
oleh Hebert Blummer juga menyinggung masalah ini. Yakni manusia adalah sebagai
makhluk sosial yang selalu melakukan sebuah interaksi dengan orang lainnya.
Interaksi ini juga dari komunikasi yang digunakan oleh manusia, akan tetapi
tidak terbatas pada manusia saja, tetapi juga dengan segala sesuatu yang ada di
alam semesta ini. Interaksi tidak dapat secara otomatis, melainkan memerlukan
beberapa sarana untuk menjelaskan interaksi yang terjadi, sarana-sarana
interaksi tersebut kemudian membentuk suatu simbolisasi dari interaksi yang
dilakukan.
Jadi masyarakat Kejawen itu berinteraksi sesama
komunalnya dan bahkan tidak hanya sesama manusia melainkan segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini juga memerlukan sarana-sarana dalam bentuk sesajen
misal, karena sesajen dalam tafsiran saya sendiri adalah bentuk kasih sayang
Tuhan kepada hambanya, dan sesajen adalah perantara hambanya untuk
berkomunikasi dengan-Nya.
Tradisi atau ritual keagamaan adalah bagian dari
warisan ritual yang telah ada sejak zaman nenek moyang masyarakat Jawa. Ritual
ini telah dilakukan secara turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Ritual atau tradisi selalu melibatkan penggunaan simbol-silmbol
budaya, seperti Sesajen. Simbol ini mengandung nilai-nilai dibaliknya. Baik
yang bersifat material atau pun yang non-material. Dalam kajian budaya, simbol
diyakini memiliki keterkaitan yang cukup rumit dengan berbagai aspek kehidupan
manusia yang itu bersifat sangat kosmologis.
Bahkan sejak abad 15-16 an lah masa-masa kerajaan,
khususnya di daerah Jawa. Masyarakat Jawa atau Kejawen, mereka menanamkan ilmu
Kejawen kepada masyarakatnya. Ada konsep yang namanya “Memayu Hayuning Bawana”.
Memayu Hayuning Bawana adalah salah satu falsafah kehidupan masyarakat Jawa
yang sangat akrab dalam budaya kejawen. Secara harfiah Memayu Hayuning Bawana
adalah mempercantik keindahan dunia. Dalam konsep ini manusia memiliki
kewajiban untuk menjaga keharmonisan alam semesta.
Hubungan antara manusia dengan lingkungannya bisa
dijaga dengan menjaga kelestarian alam, karena jika alam telah rusak maka
manusia tidak dapat hidup dengan baik. Dalam hal ini manusia hendaknya
memperhatikan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam.
Pada dasarnya, Memayu Hayuning Bawana tidak hanya
cocok untuk diaplikasikan di kalangan masyarakat Jawa saja, namun lebih
menyeluruh kepada seluruh umat manusia yang masih mempunyai nilai kesadaran
akan pentingnya menjaga alam. Karena pada mulanya Tuhan telah menciptakan alam
semesta ini dengan begitu rupawan, maka kita harus bisa menjaga segala
keteraturannya agar bisa harmonis.
Memayu Hayuning Bawana yang bisa diartikan rahmat alam
semesta, disitu berarti dimana kita menjaga, merawat, melindungi, dan menolong
alam semesta. Maka alam semesta juga akan menolong kita. Disitulah hubungan
timbal baliknya. Dan unsur-unsur di alam semesta yang menjadi landasan ilmu
Kejawen itu seperti hewan, tumbuhan, air, tanah, gunung, dan semua yang berada
di alam semesta ini, menjaga hubungan dengan alam semesta ini agar pola-pola
kehidupan itu terjaga semestinya dan titik tertinggi hubungan yang dijaga itu
adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Ritual atau tradisi Sesajen ini berfungsi sebagai ilmu
pengetahuan tentang cara bertindak dan bersikap kepada fenomena yang dialami.
Pengetahuan ini diperoleh melalui proses pembelajaran dari generasi sebelumnya
dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Tradisi Sesajen merupakan unsur
kebudayaan yang bersifat universal, sulit diubah dan sulit dipengaruhi oleh
kebudayaan lain. Ini menunjukkan perilaku tertentu yang bersifat formal yang
dilakukan secara berskala, bukan sekedar rutinitas yang bersifat teknis namun
didasari keyanikan religius terhadap kekuasaan atau kekuataan mistis. Adapun
juga simbol-simbol dari Sesajen ini memainkan peran penting dalam kehidupan
sehari-hari, baik melalui bahasa yang digunakan maupun gerak-gerik yang lakukan
(Bil Lisan dan Bil Hal). Simbol-silmbol
(Sesajen) sakral ini memperkuat hubungan antara ontologi, kosmologi, estetika,
dan moralitas dalam masyarakat Kejawen.
Di zaman Postmodern ini
banyak orang yang mempermasalahkan
tentang budaya sesajen, yang selalu berfikir bahwa sesajen adalah tanda dari
kemusyrikan atau yang menyekutukan Tuhan. Saran
saya adalah jangan langsung menuduh bahwa budaya sesajen selalu identik dengan
kemusyrikan. Kita kembali ke zaman penyebaran agama Islam di Jawa khususnya, yaitu zaman Wali Songo. Pemaknaan sesajen
juga perlu dilihat dari aspek komunikasi dan sejarah.
Perilaku
orang-orang yang masih fanatik di dalam suatu
kepercayaannya ini sangat tidak mencerminkan kegiatan
dakwah yang pernah dilakukan Wali
Songo. Dari sudut pandang komunikasi dakwah, hal
tersebut sangat kurang tepat dan jauh dari sikap bijaksana. Selalu mengolok-olok yang berbeda dengan yang ia
lakukan. Dan dari sinilah kita kemudian memahami
mengapa dakwah yang dilakukan Wali
Songo lebih
mengedepankan sikap toleransi (Tat Twam
Asi) dalam agama Hindu, atas keberagaman
keyakinan masyarakat Jawa
pada saat itu. Wali Songo
saat itu tidak menyalahkan dan membumihanguskan keyakinan yang telah kokoh dan tumbuh ditengah
masyarakat Jawa
pada waktu itu.
Para
Wali Songo pun tidak
melakukan tindakan yang radikal atau
bahkan ekstrem untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa ini. Jika
dulu Wali Songo juga menyalahkan sesajen yang
sudah menjadi kebiasaan atau budaya
Jawa pada saat itu, maka tentu yang muncul adalah
penolakan terhadap agama Islam.
Jikalau seperti itu pasti ada
resistensi dari masyarakat tidak hanya pada keberadaan para pendakwah tersebut melainkan agama Islam. Pada sisi inilah peran
dakwah perlu dilakukan. Jangan sekedar petentang-petengteng
dalam melakukan dakwah Islam
dengan mudah menyalahkan yang berbeda
dengan kita. Seperti membid’ahkan pemahaman yang
berbeda dan bahkan ada juga yang mengkafirkan setiap yang bersebrangan. Karena
sikap bijak dalam berdakwah tentu harus lebih di utamakan dari pada semata-mata
menyampaikan pesan dakwah itu sendiri.
bahwa
tidak ada anjuran di dalam Al-Qur’an untuk mengganggu ritual adat orang lain
dengan memaki-maki
apalagi dalam hal ini sampai menendangnya.
Allah SWT menjadikan manusia mencintai sesuatu, menganggap baik sesuatu,
janganlah menjadi pertengtangan manusia mengenai baik buruknya. Karena pada
akhirnya Tuhan-lah yang akan memberi keputusan, yang berhak menentukan benar
atau salahnya di hari akhir nanti. Dan manusia hanya harus menghormati apa yang
berbeda dengan yang dia yakini, karena menghormati bukan berarti setuju.
Orang-orang yang seperti
ini justru yang merusak citra islam itu sendiri dengan merasa yang paling suci. Saya salama
ini belum paham dengan nalar dan jiwa orang-orang pribumi yang punya sikap
antipati terhadap leluhurnya. Dimana semua hal yang berbau pribumi kuno
dianggap rendah, hina, sesat, terkutuk, sebaliknya yang asing dianggap tinggi
dan mulia. Dalam menyikapi hal ini kita semua harus
saling menghormati sesama,
dan
besikap bijak untuk menanggapi persoalan apapun. Jadilah islam yang islam Jawa. Menghormati bukan
berarti menyetujui. Dan kokohkan toleransi antar agama atau yang berbeda
keyakinan. Karena adanya saling toleransi dan saling menghormati disitulah ada
keindahan.
Referensi:
Andesta, Yusantri, (2020). Makna Filosofis Tradisi Suroan Pada Masyarakat Jawa Di Kelurahan Padang
Serai Kota Bengkulu.
Ahmad Sihabudin, H. (2011). Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Fauzan, M, (2015) “Teori Interaksionisme Simbolik”.
Skripsi, Universitas Hasanuddin, Makasar.
Kholil, A. (2009). AGAMA
DAN RITUAL SLAMETAN: Deskripsi-Antropologis Keberagamaan Masyarakat Jawa, Vol.
1, 1.
Nur Halima, Dewi. (2020) Islam dan Budaya Jawa. Surakarta.
Marzuki, M.Ag., Tradisi
Masyarakat Jawa Dalam Kebudayaan Islam. Yogyakarta, T. th.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan pesan komentar positif