Oleh : Muhammad Alvin Adam
Tulisan ini bukanlah tulisan baku yang memiliki tata bahasa yang baik dan benar. Referensinya juga tidak ada karena langsung meninjau dari realitanya. Haruf-huruf yang tertuang dalam tulisan ini, adalah hasil dari ngopi-ngopi saya. Bahasanya campur aduk kayak makanan yang sudah basi, karena saya menulis sesuai selera saya. Nggak tertuntut apapun. Jadi ada yang nyantai, ada yang sok ilmiah. Pokoknya baca saja dengan ikhlas. Kalau nggak ikhlas, nggak usah dibaca juga nggak papa kok. Saya nggak masalah. Semoga yang baca bisa memaklumi dan bisa merefleksikan sendiri. Salah tafsir dan makna bukan tanggung jawab saya. Saya menerima kritik tanpa saran, marahan, atau bacotan dari kalian.
Bila kalian menemukan guyonan diksi-diksi yang nggak lucu, disenyumin aja. Bila saya menyingung perasaan kalian atau yang lain, klarifikasi aja. Bila kalian menemukan kata “Hewan” dalam tulisan ini, ingat kata itu hanya mewakili sebagian hewan saja, tidak keseluruhan. Jadi, jangan mudah tersinggung. Kepada kalian yang sudi membaca tulisan ini, I Love You pokoknya. Hehehe.
Kalian pasti tahu, kalau di peternakan itu biasanya punya perkawanan yang kuat. “Sekuat cintaku padamu, Eaa”. Sehingga menimbulkan kesetiaan (loyalitas) yang kuat pula. Tentu, hal ini sangat apik. Namun, bila didasari pada hal yang salah, maka hasilnya akan salah juga.
Faktor-faktor pembentuk hewan memang banyak, namun peternakan adalah salah satu faktor yang besar dan patut diperhatikan. Kontribusi sebuah peternakan dalam mencetak generasi gagal sangat besar sekali. Fakta ini didukung dengan adanya kasus-kasus korupsi yang ada di negeri ini, rata-rata dilakukan mereka yang pintar dan terpelajar (si paling academia).
Di zaman Post Modren ini hewan-hewan tidak ada gairah belajar sebab ingin tahu dan mengerti. Belajar tetap hanya untuk ujian dan cari nilai. Belajar adalah kegiatan musiman, biasanya iya, biasanya tidak. Hewan zaman sekarang itulah yang harus diteliti. Sehat nggak mereka itu? Hewan kok buta sejarah, hewan kok buta politik, hewan kok nggak tahu berita.
Apakah seekor hewan yakin, ketika hidup di peternakan mereka melakukan kegiatan belajar/ sekolah? Tidak! Banyak yang pacaran, sibuk liat Youtube, Instagram, dan Stalking profil. Ketika di ruang belajar tidur. Ketika pulang, yang pertama keluar kelas. Begadang nggak jelas, nggunjing sana nggunjing sini. Ngopi, seolah cari inspirasi padahal nggak! Hewan yang nggak suka baca adalah hewan yang menyalahi fitrahnya. Membaca itu dipaksa, bukan hobi semata. Butuh paksaan untuk membiasakan membaca!.
Inilah hakikat hewan yang budak cinta sesungguhnya. Rela menjadi budak bagi hewan yang lain. Bahkan tanpa komitmen sama sekali. Membudak pada hewan asing yang diharapkan jadi jodoh di masa depan. Fakta sejarah mengatakan bahwa penjajahan itu sangat menyengsarakan, namun hewan zaman sekaran rela membuat dirinya terjajah atas dasar nama cinta.
Kata munafik bagi hewan peternakan adalah perwakilan dari “bacot yang nggak terbukti”. Tong kosong nyaring bunyinya. Dan hewan pun yang sukanya ngomong tapi nggak ada aplikasinya. Namun, sebenarnya tidak hanya berupa omongan saja, munafik juga mengacu pada idealisme, komitmen, dan kepercayaan.
Selain itu, hewan peternakan juga harus punya idealisme yang kokoh. Hewan harus percaya mana yang benar dan bias membedakan anatara yang benar dan yang salah. Hewan peternakan harus tahu mana hal yang tak pantas dilakukan dan yang seharusnya dilakukan. Karena idealisme adalah lawan dari kemunafikan. Hewan peternakan harus berani mengatakan ini salah dan ini benar. Tentunya dengan didasarkan pada kekuatan dalil atau data yang benar. Idealisme yang positif tak menciptakan nafsu arogansi yang itu sangat dibenci dan tidak baik untuk hidup kita. Idealisme hewan, seharusnya tak tergerus arus politik praktis dan gelombang konstelasi Negara dalam keadaan apapun.
Memang saya sangat menyadari betul, hewan di era zaman sekarang itu berbeda dengan yang dulu. Kenapa? Karena mereka adalah makhluk yang individualis, hedonis, dan egois. Percaya apa nggak, kalau ada hewan peternakan disuruh milih, anatara kerja keras bersama-sama (kolektif) sehingga semua hewan dipeternakan terbantu atas kerja kolektif itu. Atau senggol-senggolan cari beasiswa untuk dimakan sendiri. Saya jamin, mereka bakalan milih nggak kerja keras (kolektif) terus dapat beasiswa full dan dimakan sendiri.
Adapun juga penyakit bagi hewan peternakan adalah Mager (Males Gerak) sebabnya belum diketahui secara jelas. Di saat itulah, fenomena mager itu terjadi. Hewan-hewan yang sukanya mager, malas-malasan di kos, nggak ngapa-ngapain, tidur-tiduran, buka smartphone cari hiburan, nonton youtube, chat pacar, bahas nggak jelas, atau sekedar stalking social media.
Apabila mager sudah berkolaborasi dengan smartphone, maka dunia peternakan akan menjadi sempit. Bahkan lebih sempit dari cintamu padaku, Eaaa. Bergerak jadi sakit, ngapa-ngapain jadi sulit, inginnya apa-apa serba instan. Bila mager sudah melanda, jangankan memikirkan yang lain, keluar kos aja malas. Jangankan keluar kos, hidup aja kurang niat. Sehingga, ketika malas gerak, otak mereka pun nggak bergerak (berpikir dan berkembang). Mereka benar-benar dalam keadaan stagnasi, bahkan untuk hidup pun mengalir saja. Mereka merasa punya masalah, tapi bingung masalahnya apa? Pokoknya, hidup segan mati nggak mau! Sungguh menyedikan!
Di dalam dunia peternakan, sebagian hewan bukanlah makhluk intelektual yang selalu membudayakan literasi. Baca, menulis, bejalar, bukanlah jiwa asli hewan peternakan sekarang. Jiwa asli hewan peternakan sekarang adalah pacaran, cari popularitas, dan malas-malasan. Buku bagi hewan sekarang tidaklah semenarik ketemuan dengan pacar (kekasih tolol). Membuat karya tulis tidaklah seindah nggosip dan rasan-rasan. Karena lebih enak memagerkan diri dari pada sibuk dengan buku-buku yang tak biasa menghasilkan uang bagi mereka.
Pada kodratnya setiap hewan pasti membutuhkan interaksi dengan sesamanya, sama halnya dengan binatang lain. Akhir-akhir ini kita sering kali mendengar istilah-istilah seperti Circle. Secara sederhana adalah Cirlce itu adalah lingkaran dari beberapa individu-individu lebih dari satu hewan, dimana mereka membentuk sebuah kelompok atas dasar kesamaan pikiran, hobi, kesamaan dalam ber-opini, atau bahkan dalam bahasa gaulnya adalah satu frekuensi.
Adakah pengaruh Circle perkawanan bagi hewan di Peternakan? Tentu saja ada. Circle perkawanan ini akan memberikan pengaruh yang bisa dikatakan cukup kuat terhadap bagaimana sikap kita, tingkah laku, emosi, dan pola pikir kita terhadap lingkungan peternakan.
Salah satu hal yang menurut saya sangat disayangkan dari Circle perkawanan adalah hilangnya jati diri sendiri karena selalu dituntut menjadi hewan lain. Hal ini terjadi karena individu-individu yang berada di dalamnya tidak dapat menerima kita apa adanya. Sehingga bagi beberapa hewan lain akan bertindak dan berpenampilan sesuai opini hewan-hewan di sekitarnya dengan alasan takut nanti dijauhi hewan lain.
Memiliki hubungan dekat dengan hewan lain atau satu komunal tidak menjamin hubungan tersebut akan baik-baik saja. Dalam lingkungan peternakan juga seringkali terjadi perang dingin karena alasan-alasan sepele. Saat menjalin suatu komunal memang dituntut untuk saling percaya, saling menghargai, dan saling mengerti antara hewan satu dengan yang lain.
Namun ada kalanya dunia peternakan biasanya terdapat konflik atau cekcok, seperti adanya sifat Egois. Egois sebenarnya memang sifat dasar hewan, jadi tak heran jika terkadang sifat ini tiba-tiba mendominasi di peternakan. Sifat egois memengaruhi kita yang cenderung sering mementingkan diri sendiri. Adapun mengenai dominasi, di peternakan pasti ada yang namanya dominasi kelas, yakni kelas hewan yang menggunakan kekuasaan atau otoritas hewan yang berkuasa. Kelas atas, lapisan atas, kelas yang menempati posisi tertinggi dalam hierarki sosial.
Semakin hari semakin banyak hewan yang tidak tahu diri. Bertingkah angkuh seakan pemilik bumi. Selalu memandang rendah pada yang tidak sesuai dengan hati. Terlalu serakah dengan membanggakan diri. Menganggap remeh segala yang terjadi. bertindak abai tidak peduli pada macam kondisi. Lalu memilih berpura-pura tak menyadarkan diri. Jika telah menjadi seonggok sampah kotor yang menjijikkan di semesta ini.
Memang banyak kejadian yang muncul di dunia peternakan, seperti banyaknya wacana akan tetapi diajak gerak banyak alasan. Seperti yang Saya baca di buku Trio Muharam itu dijelaskan mengenai kolektif. Saya sendiri memahami betul cara berpikir, gaya hidup, kelucuan, hingga ironi hidup dalam kolektif-kolektif. Kolektif itu bukan hanya suatu perkumpulan saja, akan tetapi juga tentang hidup, bekerja, dan berkembang bersama, tidak saling menjatuhkan, atas dasar suatu keyakinan dan prinsip yang sama. Nyatanya dalam kolektif banyak ditemui hal-hal yang tidak sinkron antara yang mereka lakukan dengan yang mereka katakana. Meski demikian, bukan berarti kolektif harus ditinggalkan. Kolektif memang tidak sempurna. Kita hanya harus mengakui ketidaksempurnaan itu, mengkritiknya, dan sering-seringlah menertawakannya.
Kalau kalian marah maafkan saya! Kalau tidak, terimakasih ya!
anjayyyy
BalasHapus