Oleh: Muhammad Alvin Adam
Budaya
partriarki yang begitu melekat di masyarakat Indonesia ini, seakan-akan sering
terjadi ketimpangan diantara laki-laki
dan perempuan. Saya menyadari betul bahwa sistem Patriarki ini sudah sangat
melekat di dalam kehidupan kita sehari-hari, memang tidak lumrah kalau ada
suatu hal yang dilakukan oleh laki-laki seperti merokok dan berpakaian dengan
bebas kemudian dilakukan oleh seorang perempuan, pastinya tidak sedikit
cemoohan dari orang-orang. Perempuan di Indonesia seakan-akan masih terbelenggu
dalam keadaan ini, serta ada penghalang (hijab) disana antara yang pantas dan
tidak pantas. Begitu mirisnya, bahwa yang tidak pantas dilakukan perempuan ini
bisa dilakukan oleh laki-laki dan bahkan itu secara leluasa, seperti salah
satunya adalah masalah rokok.
Bagi
saya pribadi masalah perempuan merokok atau tidak merokok bukan hal yang perlu
diperdebatkan apalagi sampai dipermasalahkan. Karena perlu kita sadari bersama
bahwa ketika perempuan merokok itu, tidak menutup kemungkinan mempunyai latar
belakang yang bisa di bilang tidak baik-baik saja, misal faktor lingkungan
(broken home dll), stress, atau mungkin dia sudah nyaman ketika dia merokok.
Saya pribadi merupakan seorang perokok dan saya menyadari betul bahwa di
Indonesia ini yang mendominasi rokok adalah laki-laki. Akan tetapi apakah
perempuan tidak boleh merokok? Mungkin mengenai permasalahan perempuan dan
rokok kretek agak sensitif, akan tetapi saya akan sedikit mengulik mengenai hal
ini.
Pandangan
masyarakat Indonesia terhadap perempuan yang merokok apalagi rokok kretek adalah
pro dan kontra. Mungkin kalau yang merokok adalah laki-laki bisa dikatakan sebagai hal
yang wajar bagi masyarakat Indonesia. Akan tetapi, apabila seorang perempuan
yang merokok, maka secara spontan Si perempuan tersebut akan di beri nama
julukan yang menyakitkan oleh masyarakat, menurut yang saya lihat sendiri
seperti “perempuan kok merokok”, “kasihan sama jilbabnya”, “nakal”, dan bahkan
yang paling menyakitkan adalah si Perempuan ini diberi julukan “Jalang”. Memang
telah terkonstruk stigma yang diberikan masyarakat Indonesia ini kepada
perempuan yang merokok adalah stigma yang negatif. Bahkan tidak hanya secara
langsung, ketika kalian membuka internet tentang perempuan merokok bisa saya
pastikan isinya dari atas sampai bawah adalah ancaman-ancaman bahkan
stigma-stigma negatif, meskipun tidak semua orang menyutujui itu.
Menurut
saya pribadi masalah hijab dan rokok itu tidak ada hubungannya sama sekali.
Jadi memang saya sangat menyadari bahwa untuk melepas jeratan
perempuan-perempuan dalam budaya partiarki ini sangat susah, dan bahkan sangat
kecil sekali persenannya. Saya ingin mengajak kalian semua untuk membuka
pikiran-pikiran kalian bahasa gaulnya open
mind, sehingga tidak gampang menyalahkan sesuatu tidak pantas yang
dilakukan oleh perempuan dan pantas untuk dilakukan laki-laki.
Bahkan
ketika saya sering Ngaji-ngaji buku dan disana terdapat dorongan dari sebuah
rokok kretek dan kopi pahit, menurut saya sendiri kurang lengkap kalau kita mau
diskusi atau membaca buku tanpa rokok dan kopi pahit. Karena mungkin itu sudah
ditakdirkan oleh Tuhan untuk selalu bersama, antara buku, rokok, dan kopi.
Belakangan
ini perempuan yang merokok seakan-akan selalu menjadi bahan gibah yang selalu
hangat untuk dibicarakan. Saya menyadari betul bahwa tidak lumrah perempuan itu
merokok. Akan tetapi perempuan juga memiliki hak untuk melakukan apa yang ingin
dia lakukan. Aromanya sangat semerbak bersama asap yang mengalir lewat hidung
dan mulut sehingga meninggalkan rasa yang sangat enak di kepala dan kepuasaan
yang tidak terkatakan, setelah hisapan pertama kedua dan terus-menerus yang
disusul dengan kopi, diskusi atau obrolan pun sangat lancar terjadi antara saya
dan perempuan yang merokok itu. Tidak peduli tetangga yang tampak bingung dan
banyak tingkah itu.
Perempuan
yang merokok itu apa adanya, karena akhirnya eksistensi dan logika dan teori
ini buyar. Berjalan ke perkopian menjadi aktivitas selanjutnya, kehendak yang
tiba-tiba itu adalah hembusan dari sebelah menjadi berlebih. Bukan karena ingin
mencoba akan tetapi karena ingin menjadikan bahwa inilah aku. Mengartikan tanpa
alasan bagai bercermin tanpa bayangan. Memperhatikan layaknya diskriminasi
menghantam ideologi dari segala arah. Menjadikankanku layak dibuang ke tempat
antaberanta hanya karena sedikit perbedaan dengan perempuan pada umumnya.
Berlagak tidak memperhatikan, dan sisipkan di jari manis dengan tangan yang
menyodorkan pematik. Perempuan ini sadari bahwa ini akan menjadikan gumaman si
mulut besar seakan menjadi satu.
Di
dalam buku Perempuan Berbicara Kretek juga menjelaskan betigu rinci tentang
Perempuan dan Rokok Kretek. “Saat inilah justru menunjukkan eksistensiku.
Stigma inilah yang aku pertahankan, sedangkan mereka mempertahankan keyakinkan
mereka sendiri. Sisipan sebatang keyakinan adalah gugatan dari hati yang hampir
usang tertata rapi. Selama ini aku tidak pernah menunjukkan keberadaanku,
karena selama ini aku dianggap bayangan. Selama apa aku harus terus membawa
bayanganku, sampai kapan aku harus dengan cepat menukar topeng yang aku punya
karena stigma negatif yang ditunjukan padaku. Inilah yang membuat aku
seolah-olah skeptis dengan keyakinan yang aku miliki. Apakah aku harus
menghilangkan skeptis ini atau aku harus mengikuti keyakinan mereka, dengan
warisan-warisan budaya zaman nenek moyang”. Ucap si perempuan kretek kepadaku.
Saya
sendiri dalam hati mempunyai banyak pertanyaan, kenapa semua orang sekarang
menjadi tabu jika melihat refleksi perempuan yang merokok?Jika kita sedikit
religius sejatinya perempuan adalah makhluk yang setara dengan laki-laki.
Pernahkah kalian menengok kaum buruh perempuan di lingkungan masyarakat kalian?
Betapa berat tugas mereka itu, membagi waktunya untuk keluarga dan bekerja.
Apakah kita tetap memandang perempuan sebelah mata dan masih perlukah
pembatasan gender pada masyarakat kita?
Dahulu
banyak sekali perempuan yang merokok, yang barangkali kini sudah renta. Dengan
tersisip di sela jari yang telah mengkriput disesaplah sebatang kretek dari
mereka. Dengan bibir yang tidak seindah dahulu ketika muda mereka sangat
menikmati campuran tembakau dan cengkeh. Dengan santai dihisapnya kretek tanpa
beban. Apa mungkin ini ada kaitannya dengan pembunuhan karakter dari masa Orde
Baru? Kita ambil sedikit contoh kecil saja dari kasus yang ada. Orde Baru
menjadikan seolah-olah masyarakat yang memiliki tato, rambut gondrong, celana
sobek, itu adalah preman, dan perempuan itu makhluk yang memiliki strata sosial
di bawah pria dan tidak bisa disandingkan. Di sinilah ingatan masyarakat
Postmodern ini telah berubah sehingga perempuan yang merasa seakan terbelenggu
dan terkungkung dalam kerumitan persoalan bermasyarakat.
Jadi
berhentilah jadikan konsep kesehatan dan moralitas yang absurd sebagai alasan
untuk cari untung dengan menunjuk-nunjuk, mencari-cari kesalahan orang lain
sampai-sampai tembakau yang tidak bisa bicara ala manusia pun jadi sasaran.
Karena, pada dasarnya dari dedaunan tanaman ini dan bunga-nunga cengkeh dan
rempah lainnya telah lahir suatu bentuk kreativias yang tidak ada duanya di
dunia ini. Saya menyebutnya, adalah Candu Jawa. Yang tidak ingin saya lupakan
segala kisah dan jasanya sebagai kawan tanpa banyak bacot saat dunia ini terasa
begitu membosankan.
Semua tulisan perlu di baca dan di refleksikan
BalasHapus