Oleh: Muhammad Alvin Adam
Kabupaten Banyuwangi yang
letaknya paling ujung timur pulau Jawa ini terdapat salah satu hutan yang
sangat terkenal di negara Indonesia yaitu Hutan Alas Purwo. Di Alas Purwo sendiri
memiliki banyak tempat yang masih menyimpan nilai sejarahnya, seperti Situs,
Pura, Goa, Makam, dan lain-lain. Dan disini saya akan membahas sedikit tentang salah
satu Situs yang berada di Alas Purwo yakni Situs Kawitan yang merupakan salah
satu peninggalan dari nenek moyang kita.
Situs Kawitan ini merupakan tempat
ditemukannya reruntuhan bangunan yang diduga peninggalan dari kerajaan
Blambangan (abad 14 M) yang pada saat itu Kerajaan Blambangan berpusat di Alas
Purwo. Dan Kerajaan Blambangan ini sebagai Kerajaan Hindu Terakhir di Pulau
Jawa. Gapura Situs Kawitan ini terbuat dari batuan Karst yang berkaitan dengan
sejarah geologi Alas Purwo terbentuk dari proses pengangkatan Karst dari lautan
dangkal.
Adapun juga menurut sumber-sumber yang pernah saya
baca Situs Kawitan ini adalah tempat untuk berdoa dan beribadah serta Situs
tersebut merupakan petilasan dari Ida Mpu Bharada atau biasa disebut dengan
Arya Bharada pada kurang lebih tahun 1000 Masehi.
Sosok Mpu Bharada merupakan pendeta yang sakti
mandraguna dan beliau (Mpu Bharada) adalah penganut agama Budha yang menjadi
guru sekaligus teman setia Raja Airlangga yang memimpin Kerajaan Kahuripan
Kediri yang menganut agama Hindu.
Raja Airlangga memilih Mpu Bharada menjadi guru karena
Mpu Bharada mampu mengalahkan musuh Raja Airlangga yakni Nyai Calon Arang. Mpu
Bharada memiliki gaya yang berpakaian yang sangat membumi dan biasa saja,
penampilan Mpu Bharada tidak seperti orang-orang yang memiliki Waskita atau kekuatan lainnya. Konon
ceritanya Mpu Bharada mampu menyebari laut untuk pergi ke pulau Bali hanya
menggunakan sehelai daun, dan pernah membelah sungai berantas dengan
kesaktiannya. Dan itu sangat mustahil untuk dilakukan seseorang.
Menurut Pemangku Situs Kawitan
sekarang, beliau mengatakan pada tahun 1968 hutan ini mau di Rabas atau di Babad untuk dijadikan Tegalan
(Ladang). Konon ceritanya, rencana mau dijadikan sebuah Desa, ternyata
disana diketemukan peninggalan batu paras putih, peninggalan nenek moyang.
Arti dari Pemangku sendiri adalah,
pemangku itu merupakan golongan orang yang suci diantara para umatnya di dalam
agama Hindu. Seseorang bisa dikatakan Pemangku apabila telah melakukan upacara
penyucian berupa Pawitenan. Pawitenan dapat dilakukan berulang kali
oleh Pemangku.
Islitah Pemangku sendiri berasal
dari bahasa Sansekerta yaitu Pangku
yang sama dengan Nampa dengan artian
menyangga atau memikul beban, tanggung jawab sebagai pelayan atau perantara
orang yang punya kerja dengan Tuhan (Sang Hyang Widhi) atau leluhur mereka.
Yang memperkasai atau pelopornya
adalah seorang Veteran 45, dan kemudian suatu kebetulan umat Hindu pada tahun
1967 dengan sendirinya sekian tahun tidur nyenyak kemudian tahun 1967 bangun
dengan sendirinya. Katakan ibarat berjalan umur satu tahun ini di Rabas atau di Babad . patutlah umat Hindu untuk merawat dan melestarikan Situs
Kawitan peninggalan dari nenek moyang.
Konon ceritanya yang jelas agama
Islam belum datang dan yang merawat dan melestarikan adalah umat Hindu. Karena
Purwo ini Wiwitan (Pertama). Hingga
sekaranglah berjalan lancar siapapun umat Hindu membuka pintu untuk siapa saja
boleh datang di Situs Kawitan ini, untuk beribadah atau hal-hal lain asalkan
bersifat positif.
Ketika itu saya bertanya, “Terus
kenapa pak Mangku kok dijadikan hutan lagi?” setelah ini di Rabas atas di Babad (1968) berjalan selama tiga tahun, dua tahun ke tiga tahun
banyak musibah atau bencana, karena apa? Terjadi Gerebek-gerebek samudra hindia ini, ibaratnya Situs Kawitan atau
Alas Purwo itu ibarat tangkis atau benteng. Jadi, jarak 500 meter atau pokoknya
tanah yang tidak bisa ditanami tumbuhan seperti jagung, padi, ubi-ubian, dan lain-lain.
Karena itu seperti Unggahan (Naiknya
Gelombang) dan anginya sangat kencang. Dan akhirnya di reboisasi pada tahun
1974, orang-orang yang bermukim disini harus angkat kaki dari wilayah ini.
Setelah itu untuk mengenai kegiatan keagamaan karena
dulu saya (Pemangku) juga kebetulan pernah istilahnya itu Pasram atau Pasraman.
Pasraman itu seperti Pondok Pesantren kalo di agama Islam, akan tetapi Pasraman itu hanya untuk umat Hindu yang
ingin memperdalam ilmu agama.
Kemudian saya nyeletuk bertanya kepada Pemangku Situs
Kawitan, kurang lebih seperti ini pertanyaan saya “Peninggalan kerajaan siapa?”
setelah itu spontan pemangku mengatakan “maaf mas” saya (Pemangku) sangat tidak
berani bilang ini peninggalan kerajaan, saya (Pemangku) tidak berani mengatakan.
Karena apa? Purwo ini sulit untuk diceritakan dan wiwit di ceritakan dan bahkan sangat Pingit. Nanti kalau saya (Pemangku) menceritakan dalam artian untuk
beliau (yang menjaga tempat ini), mendahului kehendak, bisa dikatakan kurang
sopan, atau Ngelamak dalam bahasa
Jawanya.
Sekarang gini saja ini pengibaratan ya, saya
(Pemangku) tanya kepada Sampean. Sampean kan mempunyai rumahkan? Entah
itu letaknya di dalam (Desa) atau dekat dengan jalan raya (Kota). Dan secara
otomatis jalan itu kan punya Regol,
Gawang (Gapura). Terus pertanyaannya seseorang kembali Sampean. “Pak Mangku kenapa di Situs Kawitan disini ada pintu dan
disana ada pintu?” “Disini bolong disana kok bolong?” Ini namanya pintu mau
masuk kerumah Sampean, bahwasanya
begitu. Kalau Sampean bisa masuk
dalam artian “tatanan lahir dan batin yang jernih” akan tahu rumahnya.
Saya (Pemangku) tidak berani mengatakan ini kerajaan
mana atau peninggalan siapa! Kalau Sampean
ini benar-benar bisa masuk tahu rumahnya sekarang di tanyakan rumahnya siapa
itu? Terus mungkin ada yang keluar dari situ entah itu kakek, nenek, ibu, ayah Monggo silahkan! Saya (Pemangku) tidak
berani ,mengatakan itu peninggalan siapa, karena saya khawatir mendahului
kehendak, karena Beliau (yang menjaga tempat ini) Maha tahu dan Maha mendengar.
Mangkanya sebetulnya pada waktu Situs Kawitan
diketemukan dari dulu pada tahun 1968. Para Sesepuh-sesepuh
itu masih banyak, mungkin kalau sekarang bahasanya sudah Paranormal. Kalau dulu
itu namanya Sesepuh. Sesepuh itu adalah orang yang punya
kemampuan. “Oh... ini pintu untuk masuk kedepan sana lho…” “dan kesana itu
tujuannya kemana?” Sana itu tidak berani menjelaskan itu kemana, ya pokoknya
kesana!
Adapun juga mengenai sejarah Situs Kawitan ini
berbeda-beda, siapa orang yang menceritakan, jadi beda orang beda cerita. Akan
tetapi kalau Pak Mangku sendiri itu beliau ikut Babad alas!
Mengenai Situs Kawitan ini saya sendiri masih
kesulitan untuk bisa mengatakan ini peninggalan dari siapa atau kerajaan apa,
karena sejarah Situs Kawitan ini bermacam-macam dan setiap orang yang
diwawancarai itu berbeda pendapat. Tapi setidaknya saya telah memberi gambaran
sedikit mengenai Situs Kawitan ini yang mempunyai nilai-nilai sejarah yang
perlu kita ketahui bersama. Saya juga sering ke Situs Kawitan untuk berdoa atau
hanya main-main saja. Itulah kenapa saya mempunyai angan-angan untuk menulis
sedikit mengenai Situs Kawitan ini. Banyak orang yang berkunjung ke Situs
Kawitan ini untuk acara-acara keagamaan seperti Pager Wesi dalam agama Hindu atau ketika malam satu suro, sangat
ramai dikunjungi masyarakat tidak hanya dari banyuwangi saja melainkan dari luar
dan kebanyakan dari pulau Bali.
Kita
harus merawat Situs Kawitan ini dengan Tepo
Seliro atau istilahnya Tat Twan Asi dalam agama Hindu, atau kalau dalam bahasa
Sansekerta. Adapun untuk istilah Tepo
Seliro itu sendiri adalah “Tenggang rasa” atau bisa dimaknai dengan
toleransi, dengan adanya Tepo Seliro
kehidupan masyarakat pun menjadi lebih harmonis sehingga tidak ada perpecahan.
Sedangkan untuk istilah Tat Twam Asi sendiri itu adalah berasal dari bahasa Sansekerta
adalah kata-kata dari filsafat Hindu yang mengedepankan askpek sosial yang
tanpa batas karena diketahui bahwa “ia adalah kamu” saya adalah kamu dan segala
makhluk yang adalah memiliki Atman (jiwa,
roh) yang bersumber dari Brahman (Tuhan).
Kerukukan bisa di implementasikan melalui Tri
Hita Karana juga dalam bahasa Sansekerta yang artinya ajaran untuk
kerukunan, tidak hanya terhadap manusia, melainkan juga terhadap Sang Hyang
Widhi (Tuhan) bahkan seluruh ciptaan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan pesan komentar positif