Pura Mandhara Giri Semeru Agung

 


Oleh: Muhammad Alvin Adam


Pura Mandhara Giri Semeru Agung diresmikan oleh pemerintah sebagai tempat peribadatan umat Hindu pada tanggal 3 Juli 1992, akan tetapi jauh sebelum itu Pura Mandhara Giri Semeru Agung sudah digunakan untuk tempat ibadah bagi orang Hindu. Istilah Mandhara itu artinya Gunung, dan Giri juga berarti Gunung, sedangkan untuk Semeru di ambil dari bahasa Sansekerta yang artinya Meru yang memiliki arti Pusat Jagat Raya. 

Untuk lokasi atau tempat dari Pura Mandhara Giri Semeru Agung yakni berada di Desa Senduro, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur. Yang unik dari Pura Mandhara Giri Semeru Agung sendiri yakni Pura ini berstatus atau dijuluki sebagai Pura Khayangan Jagat atau tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Keberadaan Pura Mandhara Giri Semeru Agung ini pun semakin dikenal oleh umat Hindu lokal bahkan dari seluruh Indonesia termasuk dari Bali dan Banyuwangi. Pura Mandhara Giri Semeru Agung selain di gunakan untuk tempat ibadah bagi umat Hindu, kehadirannya Pura mandhara Giri Semeru Agung malah dirasakan telah memberi rezeki bagi masyarakat setempat Pura, khususnya di Desa Senduro sendiri.

Ketika Pura mandhara Giri Semeru Agung sudah menjadi tempat yang istimewa dan unik khususnya Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang banyak dari masyarakat yang telah membuka usaha-usaha seperti membuka warung makan, toko, dan bahkan sampai oleh-oleh khas Senduro-Lumajang. Bisa dikatakan bahwa dengan adanya Pura Mandhara Giri Semeru Agung ini salah satu penumbuh ekonomi masyarakat sekitar.

Kehadiran Pura Mandhara Giri Semeru Agung juga mampu memutar roda perekonomian masyarakat Senduro, dan tidak luput dari menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Begitu juga beberapa masyarakat sekitar Pura Mandhara Giri Semeru Agung tidak lupa untuk menyediakan penginapan-penginapan atau hotel-hotel untuk menginap para pengunjung atau wisatawan dari luar daerah yang datang ke Pura Mandhara Giri Semeru Agung ini untuk beribadah sembari melihat-lihat pemandangan yang indah di lokasi Pura tersebut.

Sangat jelas bahwa eksistensi dari Pura Mandhara Giri Semeru Agung tidak sebatas hanya mengangkat nama Senduro-Lumajang, akan tetapi lebih dari itu yakni Pura ini sudah terkenal sampai di seluruh Indoneisa khususnya para umat Hindu.

Perlu diketahui bahwa pemilihan lokasi atau tempat Pura Mandhara Giri Semeru Agung ini tidaklah sembarangan, ada konsep yang begitu kuat, dan ada faktor yang melatarbelakanginya juga. Salah satunya yakni dengan menghormati Gunung.

Memang sangat penting dan baik memberi posisi serta penghotmatan terhadap Gunung. Dimana Gunung dalam suatu kawasan atau wilayah, selalu di pandang sebagai pusat Buana (Madyanikang Buwana), hulu bagi kawasan wilayah sekitar.

Di Gunung pula Tuhan sebagai Siwa Yang Maha Suci di Istanakan, lalu di Puja. Memang tidak kaget bahwa tempat-tempat yang suci dan sakral lantas didirikan di Gunung-gunung, entah itu di Puncak Gunung, Lambung Gunung, atau di Kaki Gunung. Karena tempat-tempat itulah dinilai dan dipercayai sebagai kawasan yang suci dan sakral.

Kalaupun Lokasi atau tempat bukan di Gunung maka Pura akan diorientasikan ke arah Gunung, bentuk pemujaan pun mengerucut ke atas, seperti menyerupai Gunung, seperti berupa Candi di Jawa, atau Bahkan berupa Lingga, Batu Berdiri. Dari pemahaman inilah lantas Gunung disebut pula sebagai Lingga Acala, Lingga yang tidak bergerak sekaligus Lingga yang tidak diciptakan manusia.

Dalam bahasa Jawa Kuno telah disebutkan bahwa, Acala memang juga diartikan sebagai Gunung. Agama Hindu memang mengajarkan manusia untuk senantiasa berorientasi atau menjadikan yang abadi, tidak bergerak, itu sebagai tujuan. Adapun juga selain pada Gunung, agama Hindu mengagungkan Matahari sebagai Maha Sumber energi hidup yang abadi.Maka, sangat tepat dan cocok bila Gunung Semeru di bangun Pura, sebagai tempat umat Hindu se-Indonesia memuja Hyang Siwa Pasupati. Puncak Gunung Semeru lantas menjadi Gunung Agung yang artinya Mahameru.

Dari Gunung yang ditumbuhi pohon-pohon yang sangat lebat, tanaman-tanaman yang indah, bunga-bunga yang cantik, air mengalir untuk menyuburkan tanah, atau sebelumnya yakni air dari pegunungan di tampung oleh danau lalu kemudian mengalir dengan gemercik ke sungai, lalu kemudian di manfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan hidupnya, air lantas di alirkan lagi ke laut, kemudian menjadi mendung, kemudian menjadi hujan, kembali lagi diserap oleh gunung dengan keanekaragaman pohon dan tumbuhannya, di tampung lagi oleh danau, melesak ke tanah, menyembul menjadi mata air, mengalir terus dan terus mengalir, seterusnya begitu, berputar dan terus berputas tanpa henti. Itulah mengapa Gunung dalam kosmologi agama Hindu di tempatkan sebagai hulu, danau ditengah, dan hilirnya adalah laut. Ketiga itu selalu membentuk alur siklus kesemestaan. Dari Gunung sebagai hulu (awalan) itulah kerahayuan mengalir bagi segenap makhluk di alam semesta.

Adapun juga di tempat-tempat suci (Gunung), seperti Pura Mandhara Giri Semeru Agung, maka itu akan di alirkan ke dataran di hilir atau bagian bawah dataran tinggi itu lewat sungai-sungai, masuk sawah-sawah, ladang, kebun, dan parit-parit. Pemilihan Gunung tertinggi seperti Gunung Semeru sebagai pusat Buana memang harus di dasarkan wawasan yang luas, mendalam, tidak selalu melulu secara spiritual, akan tetapi juga secara kosmologi, geografis, sosiologi, dan yang paling penting adalah dengan kesadaran ekologis yang kuat.

Perlu diketahui bersama bahwa untuk mengenai kepercayaan terhadap Gunung itu bahkan sudah ada dari sebelum adanya agama-agama yakni di era Megalitikum atau zaman Purba. Pada era Megalitikum atau zaman Purba kepercayaan seperti itu yakni terhadap Gunung sudah diterapkan dan dilakukan oleh manusia-manusia Purba yang hidup pada zaman itu, dan itu jauh sebelum adanya agama-agama atau kepercayaan terhadap Tuhan, baik berdasarkan atas keyakinan dan kepercayaan maupun atas pemikiran yang rasional.

Berdasarkan keyakinan dan kepercayaan manusia-manusia Purba atau era Megalitikum menunjukkan bahwa Gunung adalah tempat bersemayamnya roh para nenek moyang mereka. Para arwah nenek moyang mereka di yakini bersemayam di Puncak Gunung. Oleh karena itu Gunung dianggap sebagai tempat suci dan sakral yang selalu diharaskan, dan disucikan.

Ketika dilakukan pemujaan yang terus-menerus tanpa berhenti niscaya para pendukung kepercayaan tersebut akan terhindar dari mara bahaya karena mereka telah dilindungi oleh para roh nenek moyang yang sudah suci dan di sucikan di Puncak Gunung. Akan tetapi, ketika mereka melupakan para roh nenek moyang mereka yang disucikan, maka tidak lama lagi mara bahaya akan menimpa mereka.

Kita sebagai manusia yang masih diberikan kesadaran, dan akal yang sehat oleh alam semesta. Jadi, sebagai manusia yang dekat dekat dengan alam, bahwa manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak bisa melepaskan diri mereka dari alam, termasuk Gunung, hutan.

Manusia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kosmos, bahkan manusia hanya bagian kecil dari alam (microcosmos), keseimbangan selalu patut dijaga antara macrocosmos dengan microcosmos, karena keduanya ada timbal balik, dimana kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita, atau malah sebaliknya yakni alam hancur karena ulah tangan-tangan kita sendiri, jadi jangan salahkan ketika alam marah, murka pada kita semua.

Referensi:

Majalah Wartam, Edisi 23, Oktober 2017

Wawancara Romo Mangku Dalang Astono, Senduro, tanggal 19 Juli 2023

https://www.babadbali.com/pura/plan/mandhara-giri-semeru.htm 

https://phdi.or.id/artikel.php?id=gunung 


Komentar